Pulau ini menawarkan sesuatu
yang berbeda. Tak ada suasana gemerlap, atau gemuruh kendaraan roda
empat. Jika Anda kerap mengarungi dunia maya (internet), cobalah sekali-kali
cari tahu tentang Pulau Penyengat. Pulau yang luasnya tak lebih dari 3,5
km2 itu akan lebih banyak diceritakan dalam Bahasa Inggris
ketimbang Bahasa Indonesia. Padahal, pulau
ini masuk dalam wilayah negara kita.
Berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Penyengat sejak lama menarik minat para turis asing, utamanya
yang tengah melancong di Singapura. Pulau
mungil ini memang tak jauh dari Singapura. Dengan kapal feri, Pulau Penyengat bisa dicapai dalam
waktu dua jam dari Negeri Singa tersebut. Karena itulah, banyak turis asing di
Singapura yang menyempatkan diri untuk menyinggahi Pulau Penyengat. Di mata mereka, Pulau Penyengat memiliki pesona tersendiri.
Berbeda dengan Singapura yang gemerlap dan
sarat dengan simbol kehidupan modern, Pulau
Penyengat menampilkan diri sebagai tempat yang sangat alami dan bersahaja.
Semua serba apa adanya. Namun, justru kebersahajaan inilah yang membuat Pulau Penyengat memiliki daya tarik
begitu kuat.
Selain bertetangga dengan Singapura, pulau ini juga relatif dekat dengan Pulau
Bintan. Untuk sampai di Pulau Bintan
dari Pulau Batam dibutuhkan waktu satu sekitar jam dengan kapal feri. Dari
Pulau Bintan, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kapal kecil bermotor
(cukup bagi sepuluh penumpang dewasa). Dengan kapal ini, perjalanan menuju Pulau Penyengat ditempuh dalam waktu
sekitar 20 menit.
Lima menit menjelang mendarat di Pulau Penyengat, udara yang begitu
segar menerobos hidung. Hamparan rumah penduduk yang berbentuk panggung mulai
terlihat. Di belakangnya, menghijau rerimbunan pohon. Melihat semua ini,
siapapun ingin segera menjejakkan kaki di pulau itu. Selain suasana alami nan
bersahaja, Pulau Penyengat memiliki
sejumlah bangunan bersejarah yang terawat baik. Salah satunya adalah
Masjid Pulau Penyengat. Bisa
dibilang, inilah landmark Pulau Penyengat.
Apa istimewanya masjid ini? Berbeda dengan
bangunan masa kini, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur
untuk memperkuat dinding kubah, menara, dan bagian lainnya. Konon, dibutuhkan
telur berkapal-kapal untuk mendirikan masjid ini. Sedangkan kuning telurnya
dipakai untuk mewarnai dinding dan kubah masjid. Masjid yang berdiri pada 1
Syawal 1249 Hijriah atau pada tahun 1832 Masehi ini didirikan oleh Yang
Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman. Masjid ini memiliki 17 buah kubah. Ini
sesuai dengan jumlah rakaat shalat wajib dalam satu hari.
Umumnya, penduduk Pulau Penyengat bekerja sebagai nelayan. Mereka merupakan keturunan
etnis Melayu dan sehari-hari berbicara dalam Bahasa Melayu atau Melayu Riau.
Mereka juga fasih membaca huruf Arab ‘gundul‘. Bahkan, penunjuk jalan di pulau
ini pun menggunakan dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab
‘gundul‘.
Di pulau
ini, nyaris tak ada kriminalitas. Tata krama pergaulan antara pemuda dan pemudi
masih dijaga ketat. Merupakan hal terlarang bagi seorang pemuda jika berada di
rumah seorang gadis hingga menjelang Maghrib. Pendek kata, warga pulau ini masih menjunjung tinggi nilai
agama dan kesopanan.
Hanya ada becak motor
Jika suatu kali berkesempatan mengunjungi pulau ini, sempatkan untuk
mengelilinginya. Dijamin, hal ini tidak akan menguras energi dan kantong Anda.
Hanya butuh waktu 30 menit untuk mengelilingi pulau.Maklum,
Pulau Penyengat memang tidak besar, bahkan bisa dibilang mungil.
Sementara kendaraan yang tersedia adalah becak motor. Untuk satu kali keliling
pulau dengan kendaraan yang bisa memuat dua penumpang ini, pengemudi mematok
harga Rp 20 ribu. Tidak mahal, bukan?
Jangan sekali-kali membayangkan bisa naik
mobil di sini. Sebab, memang tak ada kendaraan bermotor dengan roda lebih dari
tiga di pulau ini. Tak heran, jalan-jalan di Pulau Penyengat umumnya sempit: hanya bisa dilewati satu becak
motor dan satu sepeda motor.
Azmi, salah seorang pengemudi becak motor,
bercerita, tarif becak motor berlaku setara bagi wisatawan asing maupun
domestik. Harganya juga resmi. Pada hari-hari ketika banyak wisatawan
berkunjung, becak motor yang seluruhnya berjumlah 23 buah, menjadi ‘rebutan‘
wisatawan yang ingin berkeliling pulau.
Bahkan, keluarga Sultan Selangor setiap tahun selalu berkunjung ke Pulau Penyengat dan menyewa jasa becak
motor untuk menyusuri pulau.
Selain Masjid Pulau Penyengat, ada beberapa tempat lain yang selalu dikunjungi
para pelancong yakni makam-makam raja Riau beserta keluarganya. Salah satunya
adalah makam Engku Puteri Permaisuri Sultan Mahmud. Makam ini terletak di
daerah Dalam Besar. Masih dalam lingkungan makam Engku Puteri yang wafat pada
1812, terdapat pula makam Raja Ahmad, Raja Abdullah, Raja Aisyah Permaisuri,
dan Raja Ali Haji. Yang disebut terakhir adalah pahlawan nasional yang kerap
disebut sebagai Bapak Bahasa Melayu-Indonesia. Dialah yang mengarang Gurindam Dua Belas. Gurindam yang sarat makna ini
diciptakan pada bulan Rajab 1263 Hijriah. Pulau
Penyengat dibangun oleh Raja Mahmud, suami Engku Puteri. Sultan Mahmud
memberikan Pulau Penyengat sebagai
mahar pernikahannya dengan Engku Puteri yang bernama asli Raja Hamidah.
Jangan lewatkan pula untuk melihat-lihat
Balai Adat. Gedung dengan arsitektur khas Melayu itu digunakan oleh penduduk
setempat sebagai pusat kegiatan. ‘‘Dari rapat hingga menikah,‘‘ kata Azmi. Yang
juga sayang untuk dilewatkan adalah bekas istana Raja Haji Ali Marhum
Kantor. Ada juga gedung mesiu atau gedung obat bedil. Dulu,
masyarakat Pulau Penyengat
mempergunakan bangunan ini untuk menyimpan persenjataan. Perlahan, matahari mulai
tenggelam. Petualangan di pulau mungil ini pun dengan terpaksa mesti diakhiri.
Namun, pesona Pulau Penyengat tetap akan melekat.
Asal Mula Nama ‘Penyengat‘
Siapa sangka, Pulau Penyengat yang amat bersahaja, dulu (sekitar tahun 1900)
merupakan pusat pemerintahan. Selain istana sebagai tempat tinggal raja, pulau
ini juga memiliki mahkamah, rumah sakit, dan sarana transportasi yang memadai.
Konon, posisi pulau ini menjadi
sangat penting ketika berkobar perang Riau pada akhir abad ke-18. Kala itu,
Raja Haji Fisabilillah menjadikan Pulau
Penyengat sebagai wilayah pertahanan utama.
Lalu, mengapa pulau ini memiliki nama yang lumayan unik: penyengat? Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat
setempat, nama pulau ini diambil
dari nama hewan lebah atau penyengat.
Alkisah, dahulu kala, ada seorang
saudagar yang hendak singgah di pulau
ini untuk mengambil air. Maklum, pulau
ini dikenal sebagai lumbung air tawar. Namun, begitu menginjakkan kaki di pulau ini, ia diserang ribuan lebah
yang bersembunyi di pepohonan. Agaknya, dari sinilah nama ‘penyengat‘ itu berasal. Boleh percaya, boleh tidak.