Kraton Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang
sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton
Yogyakarta merupakan pusat dari museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak
hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus
penjaga nyala kebudayaan tersebut. Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan
melihat secara langsung bagaimana budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan. Kraton Yogyakarta dibangun oleh
Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan
Perjanjian Giyanti. Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah tersebut
diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari kemungkinan
banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat gempa besar
pada tahun 1867, bangunan Kraton
Yogyakarta tetap berdiri dengan kokoh dan terawat dengan baik.
Mengunjungi Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga
sekaligus mengesankan. Kraton yang
menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai Parangtritis dan
Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di Tepas Keprajuritan
(depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol Keben). Jika masuk dari
Tepas Keprajuritan maka wisatawan hanya bisa memasuki Bangsal Pagelaran dan
Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton sedangkan jika masuk
dari Tepas Pariwisata maka Anda bisa memasuki Kompleks Sri Manganti dan
Kedhaton di mana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung utama
kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh, wisatawan
cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.
Ada
banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton
Yogyakarta, mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya
atau melihat koleksi barang-barang Kraton.
Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan
tersebut mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan
replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya. Selain
itu, wisatawan juga bisa menikmati pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda
setiap harinya. Pertunjukan tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang
golek, wayang kulit, dan tari-tarian. Untuk menikmati pertunjukkan seni
wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada hari selasa
wage, Anda bisa menyaksikan lomba jemparingan atau panahan gaya Mataraman di
Kemandhungan Kidul. Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem
Sri Sultan HB X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib
mengenakan busana tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk.
Usai menikmati pertunjukan macapat, YogYES
pun beranjak mengitari kompleks kraton dan masuk ke Museum Batik yang
diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tahun 2005. Koleksi museum ini cukup
beragam mulai dari aneka kain batik hingga peralatan membatik dari masa HB VIII
hingga HB X. Selain itu di museum ini juga disimpan beberapa koleksi hadiah
dari sejumlah pengusaha batik di Jogja maupun daerah lain. Saat sedang
menikmati koleksi museum, pandangan YogYES tertuju pada salah satu sumur tua
yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII. Di atas sumur yang telah
ditutup menggunakan kasa alumunium tersebut terdapat tulisan yang melarang
pengunjung memasukkan uang. Penasaran dengan maksud kalimat tersebut YogYES pun
mendekat dan melihat ke dalam sumur, ternyata di dasar sumur terdapat kepingan
uang logam dan uang kertas yang berhamburan.
Puas berjalan mengitari Kraton Yogyakarta, YogYES pun
melangkahkan kaki keluar regol dengan hati riang. Dalam perjalanan menuju
tempat parkir, terlihat sebuah papan nama yang menawarkan kelas belajar nembang
/ macapat, menulis dan membaca huruf jawa, menari klasik, serta belajar
mendalang. Rupanya di Kompleks Kraton
Yogyakarta ada beberapa tempat kursus atau tempat belajar budaya serta
kesenian Jawa. YogYES pun berjanji dalam hati, suatu saat akan kembali untuk
belajar mengeja dan menulis huruf hanacaraka maupun belajar menari.