Tiket Pesawat Murah

Tiket Pesawat Murah

Perjuangan Berat ke Derawan Lewat Jalur Darat


Kecantikan Pulau Derawan tak usah ditanya. Tiap traveler pasti tahu, betapa indahnya pulau di Kalimantan Timur ini. Tapi tahukah Anda, sebenarnya butuh perjuangan berat menelusuri hutan rimba sebelum tiba di sana.

Tak seperti dibayangkan, perjalanan menuju Pulau Derawan tahun 2010 lalu membuat wisatawan tidak nyaman dengan infrastruktur jalan. Derawan, ini kata yang menohok pikiran saya setelah membaca tulisan Trinity di buku 'Naked travellers'.

Ada perasaan malu, secara sang penulis yang tinggal di Samarinda malah belum pernah ke Pulau Derawan. Padahal, traveler dari Jakarta atau daerah lainnya sudah banyak yang traveling ke sana.

Sebenarnya saya takut berjalan sendirian. Namung level kebosanan yang melebihi rasa takut, membuat saya pergi juga ke Pulau Derawan. Saya pun mengajak teman dan melakukan cara tak biasa ke Pulau Derawan, yakni lewat jalur darat menggunakan bus dengan rute Samarinda-Tanjung Redeb.

Jangan kira bus ini nyaman dan sejuk oleh hembusan angin sejuk dari AC. Busnya hanya terasa sejuk saat kita membuka kaca dan membiarkan angin sepoi-sepoi masuk.

Di dalam bus para penumpang membawa berbagai macam bawaan yang ditumpuk-tumpuk serabutan. Perjalanan bus Samarinda-Berau pun hanya satu kali tiap satu hari. Itu pun konon dijaga oleh tentara yang menyamar dan membawa pistol untuk jaga-jaga ada rampok di jalan, seperti di film koboi saja.

Untuk diketahui, kelancaran perjalanan bus ini rasanya tergantung dari Sang Kuasa soal cuaca. Kalau cuacanya baik, jalanan bakal lebih lancar. Namun kalau di tengah jalan diguyur hujan, jalanan bakal susah dilewati. Bus pun bakal setengah mati untuk melewati jalanan dengan deru suara mesin meraung-raung karena dipaksa.

Bus dari Samarinda mulai berangkat sore hari. Dari Samarinda, perjalanan dimulai dari Terminal Lempake melewati Jalan Samarinda-Bontang yang berbukit-bukit dan berkelok-kelok seperti ular tangga. Tentu saja perut ini harus siap obok-obok seperti pakaian dalam perut mesin cuci. Kalau fisik yang tidak kuat, harus siap-siap minum obat anti mabuk.

Rasa bosan pun dilewati dengan mengobrol sesama penumpang yang lain. Lanjut dari simpang Bontang, jalannya belok menuju Sangata. Dari Sangata bus mengarah ke Bengalon dan lanjut ke Wahau. Jalan sepanjang menuju Wahau sangatlah 'teruk' (mengutip kata Malaysia). Akibat kombinasi dari korupsi akut yang merajalela dan alat-alat berat dari perusahaan tambang membuat jalan berlubang-lubang sebesar meja, bagai kena bom peswat kamikaze Jepang. Nasibmu Indonesia dijajah bangsa sendiri.

Bus tua yang malang ini pun dipaksa dan digenjot untuk melewati medan berlumpur. Sebenarnya saya lebih kasihan sama busnya daripada penumpangnya.

Bus berhenti di daerah Wahau yang pada saat itu masih berupa dusun. Badan rasanya mau remuk, ada penumpang wanita gemuk yang berumur langsung merebahkan dirinya di lantai hingga bersuara 'gedebruk'.

Si ibu kecapaian dan sangatlah penat, sambil menyesali perjalanannya ini hanya karena menghemat uang. Dia sampai harus menanggung lelah seperti ini.

Karena kelelahan dan kombinasi perut lapar, saya mencoba makanan yang tersedia di warung di Wahau ini. Alangkah kagetnya setelah selesai makan, sang pemilik warung memasang tarif Rp 20.000 untuk semangkuk Indomie rebus kosong tanpa apa-apa. Wow, di tengah hutan memang apa-apa mahal. Kala itu listrik di Wahau kalau pun hidup hanya malam hari.

Setelah menjelang subuh, bus akhirnya sampai ke Kampung Kelay. Kampung ini terkenal dengan jembatan panjang yang melintasi Sungai Kelay. Sungai Kelay sangat jernih airnya, di pinggirnya tumbuh pohon dengan daun berwarna kemerah-merahan, bagai pohon musim gugur di luar negeri.

Ada yang menarik hampir seluruh daerah terpencil di hutan Kalimantan. Hampir selalu ada warung yang dimiliki orang Jawa, tidak jelas apakah memang Jawa transmigran atau yang baru mulai hidup di pelosok Kalimantan.  Dari Tanjung Redep, perjalanan dilanjutkan melalui speedboat menuju Pulau Derawan.

Sumber

This entry was posted in . Bookmark the permalink.

Leave a reply